APAKAH BINTANG SEMAKIN BERKURANG?

Apakah anda merasa jarang melihat bintang belakangan ini? Jumlah bintang di angkasa memang sudah berkurang. Ilmuwan menemukan penyebabnya.


Selama ini para ahli astronomi telah mengetahui bahwa jumlah bintang di angkasa terus berkurang. Bintang tua cahayanya semakin redup, sementara bintang baru tidak terbentuk. Tim ilmuwan dari Australia menemukan penyebabnya, yaitu karena berkurangnya molekul hidrogen di dalam galaksi.
Dr. Robert Braun dari CSIRO menggunakan radio teleskop Mopra di New South Wales untuk membandingkan galaksi-galaksi. Ia menemukan galaksi baru mengandung lebih banyak molekul gas hidrogen dibanding galaksi lama.
“Hasil temuan ini membantu kita memahami mengapa sekarang bintang tak bersinar lagi,” ujar Braun seperti dikutip dari berbagai sumber.

Bintang terbentuk dari awan berisi debu dan gas yang sangat besar dan bersinar karena ada proses pembakaran hidrogen menjadi helium. Ketika hidrogen habis, tekanan akan menurun, dan bintang pun lama-kelamaan mati.
Lalu kemapa jumlah hidrogen berkurang?

Menurutnya, berkurangnya gas hidrogen dan formasi bintang kemungkinan mulai terjadi sejak ukuran jagat raya semakin cepat berkembang, dan galaksi-galaksi jadi kesulitan menangkap gas.

POSISI KETINGGIAN AWAN SEMAKIN MENURUN

Beberapa ilmuwan dari University of Auckland di Selandia Baru menganalisis ketinggian awan global dari periode Maret 2000 hingga Februari 2010 dengan Multi-angle Imaging SpectroRadiometer (MISR) pada wahana antariksa Terra milik NASA.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya penurunan ketinggian awan secara global. Penurunan bisa mencapai 1 persen, atau sekitar 30-40 meter dari ketinggian semula. Kebanyakan penurunan diakibatkan oleh lebih sedikitnya awan yang terdapat di wilayah atmosfer yang lebih tinggi.

Pimpinan penelitian, Roger Davies, mengatakan,  untuk sementara, hasil studi masih terlalu dangkal, penurunan ketinggian awan menunjukkan bahwa sesuatu tengah terjadi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat dampaknya pada temperatur global.

Davies mengungkapkan, ketinggian awan yang lebih rendah bisa memberikan efek pendinginan, mengurangi temperatur di permukaan Bumi. Selain itu, penurunan ketinggian awan memberikan efek yang berlawanan dengan pemanasan global. “Kami belum tahu secara pasti sebab penurunan ketinggian awan. Tapi ini pasti berkaitan dengan perubahan sirkulasi pembentukan awan di ketinggian,” ungkap Davies seperti dikutip Physorg, Rabu (22/2/2012).

Penelitian dengan MISR pada wahana antariksa Terra yang diluncurkan pada tahun 1999 masih akan terus dilakukan. Selain itu, penelitian juga akan dilakukan dengan CloudSat, satelit NASA yang mampu menganalisis struktur vertikal awan.

BULAN SELAIN MENYUSUT JUGA MENGEMBANG

Menurut hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa Bulan mengembang. Hasil penelitian ini mengejutkan sebab ilmuwan sebelumnya menyangka bahwa Bulan menyusut.

Pada tahun 2010, peneliti menemukan bahwa Bulan selalu menyusut sepanjang waktu. Penyusutan ini membuat Bulan nampak seperti kismis, memiliki kerutan-kerutan di permukannya. Proses penyusutan Bulan ini masuk akal sebab Bulan kehilangan panas dari proses pembentukannya 4 miliar tahun lalu. Kerutan seperti di Bulan itu juga ditemukan di Merkurius.

Namun, di tengah penyusutan itu, tim peneliti yang dipimpin Thomas Watters dari Smithsonian Institution di Washington mengungkap bahwa beberapa permukaan bulan menunjukkan peregangan atau mengembang.

Penelitian dengan Lunar Reconaissance Orbitter milik NASA menunjukkan struktur disebut graben, yang terbentuk ketika dua permukaan Bulan meregang atau menjauh.

Pengembangan lama telah ditemukan sebelumnya. Namun, pengembangan ini tergolong “baru”, umurnya kurang dari 50 juta tahun. Peneliti mengungkapkan bahwa pengembangan bisa disebabkan oleh magma, menyebabkan permukaan tampak membengkak.

“Sangat menyenangkan ketika Anda menemukan sesuatu yang sama sekali tak terduga,” kata Mark Robinson, anggota tim peneliti dari Arizona State University, seperti dikutip New Scientist

JEPANG AKAN MEMBANGUN LIFT RUANG ANGKASA

Perusahaan konstruksi Jepang pada berencana membangun lift yang tingginya 96.000 km atau sekitar 1/4 jalan ke Bulan. Tujuan proyek itu adalah mewujudkan mimpi wisata ke ruang angkasa.

Obayashi Corps, nama perusahaan itu, akan menggunakan teknologi carbon nanotube untuk membangunnya. Carbon nanotube mampu memberi kekuatan konstruksi 20 kali lebih kuat dari baja.

Lift bisa mengangkut 30 orang sekali jalan dan akan bergerak dengan kecepatan 200 km/jam. Lift akan mengantar publik hingga ketinggian 36.000 km, hanya peneliti yang boleh sampai ketinggian maksimal.

“Manusia telah lama mengagumi bangunan tinggi. Daripada memilih membangun dari Bumi, kami memilih membangun dari angkasa,” kata Satomi Katsuyama, pimpinan proyek Obayashi Corps.

Meskipun telah memiliki impian, seperti dikutip AFP, Rabu (22/2/2012), Obayashi Corps belum menentukan tempat pembangunan, biaya serta donatur yang akan membiayainya.

Saat ini, Obayashi Corps masih menuntaskan konstruksi menara tertinggi di Jepang, Tokyo Sky Tower, yang tingginya 634 meter. Menara tersebut berfungsi mendukung penyiaran sekaligus tempat melihat pemandangan kota.

Obayashi Corps telah berpengalaman membangun menara, pembangkit listrik hingga renovasi Candi. Beberapa karyanya adalah Universal Studio di Osaka, Dubai Metro di Uni Emirat Arab dan Stadium Australia.